Pages

Rabu, 25 November 2015

5 Tips kesehatan A'la Rasulullah SAW

Salam. Sepertinya setahu kita, Rasulullah hanya dua kali sakit. yaitu tatkala menerima wahyu pertama. ketika itu beliau mengalami ketakutan yang sangat karena malaikat jibril menampakkan wujud aslinya sehingga menimbulkan demam hebat. Yang satunya lagi menjelang beliau wafat.Saat itu beliau mengalami sakit yang sangat parah, hingga akhirnya meninggal

Dari situ kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya Rasulullah mempunyai fisik sehat dan daya tahan luar biasa. padahal kita tau di jazirah Arab sana cuacanya sangat panas, tandus dan kurang bersahabat. Siapa pun yang mampu bertahan puluhan tahun dalam kondisi tersebut, plus berpuluh kali peperangan yang dijalaninya, pastilah memiliki daya tahan tubuh yang hebat.

Mengapa Rasulullah SAW jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan. Jika kita telaah Alquran dan Sunnah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan. Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah SAW sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini. Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dsb.

Ada lima cara Rasulullah menjaga kesehatan
Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan thayyib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi. Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air lir dan pencernaan. Rasul bersabda, “Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas). Disabdakan. ”Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Ketiga, makan dengan tenang, tumaninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan. Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar.
Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua. Biasanya, Rasulullah SAW bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan shalat sampai waktu yang diizinkan Allah. Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan. Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur 8 jam sehari memiliki resiko kematian yang lebih cepat. Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah SAW biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari 8 jam.
Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Allah hingga matanya terasa berat. Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan. Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien.
Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk memulai tidur dalam posisi miring ke arah kanan. Hm, kenapa tidur harus miring ke arah kenan dan bukan ke kiri? Jawaban tepatnya hanya Allah SWT dan Rasul-Nya yang mengetahui. Namun demikian, rupanya alasan-alasannya dapat dihubungkan dengan ilmu pengetahuan lho! Nah, berdasarkan tinjauan anatomi dan fisiologi, manfaat tidur dengan posisi miring ke arah kanan adalah sebagai berikut. Check it out!

1. Mengistirahatkan Otak Sebelah Kiri
Secara anatomi, otak manusia terbagi menjadi 2, yaitu otak kanan dan otak kiri. Bagian kanan adalah otak kanan yang mempersarafi organ tubuh sebelah kiri dan sebaliknya. Umumnya, umat muslim menggunakan organ tubuh bagian kanan sebagai anggota tubuh yang dominan dalam beraktifitas, seperti makan, minum, menulis, memegang sesuatu, dan sebagainya. Dengan tidur dengan posisi miring ke arah kanan, maka otak bagian kiri yang mempersarafi segala aktifitas tubuh bagian kanan akan terhindar dari bahaya yang timbul akibat sirkulasi yang melambat saat tidur (diam). Bahaya tersebut meliputi pengendapan bekuan darah, lemak, asam sisa oksidasi, dan peningkatan kecepatan aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah. Sehingga jika seseorang berisiko terkena stroke, maka yang berisiko adalah otak bagian kanan dengan akibat kelumpuhan pada sebelah kiri (bagian yang tidak dominan).
2. Mengurangi Beban Jantung
Posisi tidur ke sebelah kanan yang rata memungkinkan cairan tubuh (darah) terdistribusi merata dan terkonsentrasi di sebelah kanan (bawah). Hal ini akan menyebabkan beban aliran darah yang masuk dan keluar jantung akan lebih rendah. Dampak posisi ini adalah denyut jantung menjadi lebih lambat, tekanan darah pun akan cenderung menurun. Kondisi semacam ini akan membantu meningkatkan kualitas tidur.
3. Mengistirahatkan Lambung
Lambung manusia berbentuk seperti tabung berbentuk koma dengan ujung katup keluaran menuju usus menghadap ke arah kanan bawah. Jika seseorang tidur ke sebelah kiri, maka proses pengeluaran chyme (makanan yang telah dicerna lambung) menjadi sedikit terganggu. Hal ini akan menghambat proses pengosongan lambung. Tetapi untuk menetralkan semua, maka Rasulullah kadang tidur kea rah kiri untuk sebentar saja.
4. Mengistirahatkan Pengosongan Kandung Empedu dan Pankreas
Adanya aliran chyme yang lancar akan menyebabkan keluaran cairan empedu juga meningkat. Hal ini akan mencegah pembentukan batu kandung empedu. Keluaran getah pankreas juga akan meningkat dengan posisi miring ke kanan.
5. Meningkatkan Waktu Penyerapan Zat Gizi
Saat tidur pergerakan usus meningkat. Dengan posisi miring ke kanan, makan perjalanan makanan yang telah tercerna dan siap diserap akan menjadi lebih lama. Hal ini disebabkan posisi usus halus hingga usus besar ada di bawah. Waktu yang lama selama tidur memungkinkan penyerapan dapat optimal.
6. Merangsang Buang Air Besar
Dengan tidur miring ke sebelah kanan, proses pengisian usus besar sigmoid (sebelum anus) akan lebih cepat penuh. Jika sudah penuh, maka akan merangsang gerak usus besar diikuti relaksasi dari otot anus sehingga mudah buang air besar.
7. Mengistirahatkan Kaki Kiri
Pada orang dengan pergerakan kanan, secara ergonomis guna menyeimbangkan posisi saat beraktivitas cenderung menggunakan kaki kiri sebagai pusat pembebanan. Sehingga kaki kiri cenderung lebih merasa pegal daripada kaki kanan. Apalagi kaki berada pada posisi bawah yang aliran darah baliknya cenderung rendah atau lambat. Jika tidur miring ke kanan, maka pengosongan vena kaki kiri akan lebih cepat sehingga rasa pegal lebih cepat hilang.
Nah, Subhanallah sekali ya, rahasia sunnah Rasulullah? Ternyata memang hampir semua yang beliau kerjakan, tak hanya berupa ibadah saja, bahkan akan berdampak baik untuk kesehatan. Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk shalat malam.
Kelima, istiqomah melakukan saum sunnah, di luar shaum Ramadhan. Karena itu, kita mengenal beberpa saum sunnat yang beliau anjurkan, seperti Senin Kamis, ayyamul bith, shaum Daud, shaum enam hari di bulan Syawal, dsb. Shaum adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani. Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai berbagai ampas makanan, manahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa. Saum menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Saum sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.
Selain lima cara hidup sehat ini, masih banyak kebiasaan Rasulullah SAW yang layak kita teladani. Dalam buku Jejak Sejarah Kedokteran Islam, Dr Ja’far Khadem Yamani mengungkapkan lebih dari 25 pola hidup Rasul berkait masalah kesehatan, sebagian besar bersifat pencegahan. Di antaranya cara bersuci, cara ”memanjakan” mata, keutamaan berkhitan, keutamaan senyum, dsb.
Yang tak kalah penting dari ikhtiar lahir, Rasulullah sangat mantap dalam ibadah ritualnya, khususnya dalam shalat. Beliau pun memiliki keterampilan paripurna dalam mengelola emosi, pikiran dan hati. Penelitian-penelitian terkini dalam bidang kesehatan membuktikan bahwa kemampuan dalam memenej hati, pikiran dan perasaan, serta ketersambungan yang intens dengan Dzat Yang Mahatinggi akan menentukan kualitas kesehatan seseorang, jasmani maupun ruhani.
Semoga manfaat.
Sumber :


Majalah Furqon Edisi 69 Th. VIII Agustus 2010 Rubrik Rahasia Sunnah halaman 38; oleh Abu Ikhsan, M. Kes

Oleh Norhasanah
Artikel www.Holyislamismylifes.blogspot.co.id

Hukum Pria Memakai Pakaian Warna Kuning dan Merah

segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Beberapa hari di pikiran ini menemukan sedikit problema. Ketika kami mengajarkan kitab fiqh Asy Syaukani Ad Durorul Bahiyah, saat memasuki bahasan hal-hal yang semestinya dihindarkan ketika akan melaksanakan shalat, Asy Syaukani menyinggung masalah warna pakaian yang terlarang, di antaranya adalah pakaian warna kuning dan merah. Karena menemui kebuntuan dalam pikiran, kami berusaha mencari pembahasan yang memuaskan mengenai larangan tersebut. Hasil penelusuran kami inilah yang akan kami sajikan dalam tulisan kali ini. Semoga Allah memberikan kemudahan.

Hukum Asal Pakaian
Perlu diketahui suatu kaedah yang biasa disampaikan oleh para ulama, “Hukum asal pakaian adalah mubah (artinya: dibolehkan)”. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Oleh karena itu, barangsiapa yang mengklaim bahwa pakaian warna tertentu itu haram atau terlarang dikenakan, tentu saja ia harus membawakan dalil. Jika tidak ada dalil, maka asalnya dibolehkan
.
Tiga Warna Pakaian Pria yang Ditinjau
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum warna pakaian laki-laki dalam tiga masalah berikut.
  1. Warna merah polos yang tidak bercampur dengan warna lainnya. Sedangkan jika warna merah pada pakaian tersebut bercampur dengan warna lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.
  2. Warna yang dicelup dengan ‘ushfur (sejenis tumbuhan dan menghasilkan warna merah secara dominan). Adapun jika menghasilkan warna merah selain dengan ‘ushfur, maka termasuk dalam pembahasan nomor satu.
  3. Warna yang dicelup dengan za’faron (sejenis tumbuhan yang menghasilkan warna kuning). Adapun jika dicelup dengan warna kuning dari selain za’faron, seperti ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.
'ushfurTanaman ‘ushfur (english: Safflower)
tanaman za'faronTanaman za’faron (english: Safron)
Pakaian yang Dicelup ‘Ushfur
Pakaian ini terlarang berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ يَحْيَى حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ ابْنَ مَعْدَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَخْبَرَهُ قَالَ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا ».
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam; Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Yahya; Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim bin Al Harits; Bahwa Ibnu Ma’dan; Telah mengabarkan kepada kaminya, Jubair bin Nufair; Telah mengabarkan kepadanya, dan ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash; Telah mengabarkan kepadanya, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat aku memakai dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim no. 2077)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ سُلَيْمَانَ الأَحْوَلِ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا ». قُلْتُ أَغْسِلُهُمَا. قَالَ « بَلْ أَحْرِقْهُمَا ».
Telah menceritakan kepada kami Daud bin Rusyaid; Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyub Al Mushili; Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nafi’ dari Sulaiman Al Ahwal dari Thawus dari ‘Abdillah bin ‘Amru ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat saya sedang mengenakan dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, maka beliau bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruh seperti ini?” Aku berkata, “Aku akan mencucinya”. Beliau bersabda: ‘Jangan, akan tetapi bakarlah.’
(HR. Muslim no. 2077)
Hadits ‘Ali bin Abi Tholib,
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ لُبْسِ الْقَسِّىِّ وَالْمُعَصْفَرِ وَعَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ وَعَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِى الرُّكُوعِ.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata; ‘Aku membaca Hadits Malik dari Nafi’ dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Hunain dari Bapaknya dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang berpakaian yang dibordir (disulam) dengan sutera, memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur, memakai cincin emas, dan membaca Al Qur’an saat ruku’.” (HR. Muslim no. 2078)
Para ulama berselisih pendapat mengenai pakaian yang dicelup ‘ushfur. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya membolehkan mengenakan pakaian semacam itu. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik. Akan tetapi, Imam Malik berkata bahwa lebih baik selain pakaian tersebut. Sekelompok ulama lainnya memakruhkannya karena larangan yang dimaksudkan dibawa kepada hadits di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan pakaian hullah hamro’ (pakaian berwarna merah). Sebagaimana Al Barro’ bin ‘Azib berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848)
Dalam riwayat Muslim, Al Barro’ bin ‘Azib mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ -صلى الله عليه وسلم-.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berperawakan sedang, perpundak bidang, rambutnya lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua cuping telinganya. Pada suatu ketika, beliau pernah mengenakan pakaian berwarna merah, tidak ada seorangpun yang lebih tampan dari beliau (HR. Muslim no. 2337)
Juga ada riwayat dari Ibnu ‘Umar yang menceritakan,
وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصْبُغُ بِهَا ، فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبُغَ بِهَا
Adapun warna kuning, maka sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelup dengannya. Aku pun senang mencelup dengan warna tersebut.” (HR. Bukhari no. 5851 dan Muslim no. 1187)

Sebagian ulama memaksudkan larangan pakaian yang dicelup ‘ushfur adalah larangan bagi orang yang berihrom dengan haji atau umroh sebagaimana maksud dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Al Baihaqi mengatakan, “Imam Asy Syafi’i melarang memakai pakaian yang dicelup za’faron dan membolehkan pakaian yang dicelup ‘ushfur. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Pakaian yang dicelup ‘ushfur diberi keringanan karena aku belum mendapati dalil larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini kecuali riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa beliau dilarang menggunakan pakaian semacam itu. Sedangkan dalam hadits tersebut tidak dikatakan, “Kalian telah dilarang”. Al Baihaqi lantas mengatakan, “Telah datang dalil tegas yang melarang (pakaian yang dicelup ‘ushfur) secara umum. Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash yang dikeluarkan oleh Imam Muslim yang melarang pakaian semacam itu.” Al Baihaqi lantas menegaskan,
وَلَوْ بَلَغَتْ هَذِهِ الْأَحَادِيث الشَّافِعِيّ لَقَالَ بِهَا إِنْ شَاءَ اللَّه
“Seandainya hadits-hadits (yang melarang pakaian yang dicelup ‘ushfur) sampai pada Imam Asy Syafi’i tentu beliau akan menjadikannya sebagai dalil, insya Allah.”
Terdapat riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan,
إِذَا كَانَ حَدِيث النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَاف قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ ، وَدَعُوا قَوْلِي ، وَفِي رِوَايَة : فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku, maka beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.” Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.”
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah bahwa memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur adalah haram karena hukum asal larangan (dalam hadits) adalah haram. Adapun baju merah yang dikenakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka merah pada baju tersebut bukan karena menggunakan ‘ushfur namun karena dicelup warna merah dengan zat selain ‘ushfur.

Pakaian yang Dicelup Za’faron
Mengenai larangan menggunakan pakaian yang dicelup za’faron disebutkan dalam hadits Anas yang muttafaqun ‘alaih (dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim). Anas berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَتَزَعْفَرَ الرَّجُلُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki mencelup dengan za’faran.” (HR. Bukhari no. 5846 dan Muslim no. 2101)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Pendapat yang tepat, haram memamai pakaian yang dicelup ‘ushfur, begitu pula za’faron”.
Sebagaimana dinukil oleh Al Baihaqi, Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku melarang laki-laki mengenakan pakaian yang dicelup za’faron. Jika pakaiannya seperti itu, aku perintahkan untuk dicuci.” Al Baihaqi lantas mengatakan, “Jika beliau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam larangan pakaian yang dicelup za’faron, maka untuk larangan pakaian yang dicelup ‘ushfur lebih pantas untuk diikuti.”

Pakaian yang Bercorak Merah atau Kuning
Mengenai pakaian yang tidak polos merah atau kuning (bercorak dicampur dengan warna lain), dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi rahimahullah,
يجوز لبس الثوب الابيض والاحمر والاصفر والاخضر والمخطط وغيرها من ألوان الثياب ولا خلاف في هذا ولا كراهة في شئ منه قال الشافعي والاصحاب وأفضلها البيض
“Boleh menggunakan pakaian yang bergaris merah, kuning, hijau dan warna pakaian yang bercorak lainnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama. Warna pakaian yang bercorak semacam itu tidaklah makruh sedikit pun. Inilah yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya. Namun yang paling afdhol adalah mengenakan pakaian berwarna putih.”

Bolehkah Memakai Pakaian Berwarna Kuning?
Jawabannya, asalnya boleh. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama karena pakaian kuning yang  terlarang apabila merupakan hasil celupan za’faron atau ‘ushfur sebagaimana disebutkan dalam penjelasan di atas.
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan,
اتّفق الفقهاء على جواز لبس الأصفر ما لم يكن معصفراً أو مزعفراً
“Para pakar fiqih sepakat dibolehkannya memakai pakaian berwarna kuning asalkan bukan hasil dari celupan ‘ushfur atau za’faron.”
Dari sini, jika pakaian kuning berasal dari zat warna sintetik seperti pada pakaian yang kita temukan saat ini, maka seperti itu tidaklah masalah. Wallahu a’lam.
Sedangkan sebagian orang menerjemahkan pakaian “mua’shfar” (yang dicelup ‘ushfur) dengan artian pakaian warna kuning, kami rasa ini keliru, karena ‘ushfur lebih dominan menghasilkan warna merah. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
“Warna dominan yang dihasilkan oleh ‘ushfur adalah warna merah.”

Bagaimana dengan Pakaian Merah Polos?
Ada dua macam dalil yang membicarakan masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.

-Dalil yang melarang pakaian berwarna merah:
Hadits Al Baro’ bin ‘Azib, ia berkata,
نَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ وَالْقَسِّىِّ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami mengenakan ranjang (yang lembut) yang berwarna merah dan qasiy (pakaian yang bercorak sutera).” (HR. Bukhari no. 5838)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
نُهِيتُ عَنْ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ
Aku dilarang untuk memakai kain yang berwarna merah, memakai cincin emas dan membaca Al-Qur’an saat rukuk.” (HR. An Nasai no. 5266. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

-Dalil yang membolehkan pakaian berwarna merah:
Hadits Al Barro’ bin ‘Azib, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian (hullah) merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848)
Dalam riwayat Muslim, Al Barro’ bin ‘Azib mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ -صلى الله عليه وسلم-.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berperawakan sedang, perpundak bidang, rambutnya lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua cuping telinganya. Pada suatu ketika, beliau pernah mengenakan pakaian (hullah) berwarna merah, tidak ada seorangpun yang lebih tampan dari beliau (HR. Muslim no. 2337)
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يلبس يوم العيد بردة حمراء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan burdah (kain bergaris) berwarna merah ketika shalat ‘ied.
Dalil-dalil yang menyebutkan bolehnya pakaian berwarna merah  di sana menggunakan kata “hullah” dan “burdah”. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud burdah dan hullah adalah pakaian yang bergaris merah dan bukan pakaian merah polos.
Ibnul Qayyim mengatakan,
كَانَ بَعْض الْعُلَمَاء يَلْبَس ثَوْبًا مُشْبَعًا بِالْحُمْرَةِ يَزْعُم أَنَّهُ يَتْبَع السُّنَّة ، وَهُوَ غَلَط ، فَإِنَّ الْحُلَّة الْحَمْرَاء مِنْ بُرُود الْيَمَن وَالْبُرْد لَا يُصْبَغ أَحْمَر صِرْفًا
“Sebagian ulama ada yang memakai pakaian merah polos (merah seluruhnya) dan menganggapnya sebagai sunnah. Sungguh ini adalah keliru. Yang dimaksud “hullah” berwarna merah adalah burdah (pakaian bergaris) dari Yaman dan burdah di sini bukanlah pakaian yang dicelup sehingga berwarna merah polos (merah keseluruhan).”

Sehingga yang tepat dalam masalah ini, pria boleh menggunakan pakaian berwarna merah asalkan tidak polos (tidak seluruhnya berwarna merah). Namun jika pakaian tersebut seluruhnya merah, maka inilah yang terlarang. Inilah pendapat yang lebih hati-hati dan lebih selamat dari khilaf (perselisihan) ulama.

Sedangkan untuk wanita boleh menggunakan pakaian dengan warna apa saja asalkan bukan warna yang nantinya akan menjadi perhiasan diri di hadapan non mahrom. Adapun yang kita bicarakan pada kesempatan kali ini adalah warna pakaian terlarang bagi pria.
Alhamdulillah, berkat taufik Allah kami diberikan kemudahan mendapatkan titik terang dalam masalah ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Sumber
-http://rumaysho.com/1133-hukum-pria-memakai-pakaian-warna-kuning-dan-merah.html

 Oleh Asmah
Artikel www.holyislamismylifes.blogspot.co.id

Empat Kunci Masuk Surga

 Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita,
سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ: مَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً؟ قَالَ: هُوَ رَجُلٌ يَجِىءُ بَعْدَ مَا أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ. فَيَقُولُ: أَىْ رَبِّ كَيْفَ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ؟ فَيُقَالُ لَهُ: أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا؟ فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ. فَقَالَ فِى الْخَامِسَةِ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ. فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ…”.
“(Suatu saat) Nabi Musa bertanya kepada Allah, ”Bagaimanakah keadaan penghuni surga yang paling rendah derajatnya?”. Allah menjawab, “Seorang yang datang (ke surga) setelah seluruh penghuni surga dimasukkan ke dalamnya, lantas dikatakan padanya, “Masuklah ke surga!”. “Bagaimana mungkin aku masuk ke dalamnya wahai Rabbi, padahal seluruh penghuni surga telah menempati tempatnya masing-masing dan mendapatkan bagian mereka” jawabnya. Allah berfirman, “Relakah engkau jika diberi kekayaan seperti raja-raja di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi” jawabnya. Allah kembali berfirman, “Engkau akan Kukaruniai kekayaan seperti itu, ditambah seperti itu lagi, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu dan ditambah seperti itu lagi”. Kelima kalinya orang itu menyahut, “Aku rela dengan itu wahai Rabbi”. Allah kembali berfirman, “Itulah bagianmu ditambah sepuluh kali lipat darinya, plus semua yang engkau mauim serta apa yang indah di pandangan matamu”. Orang tadi berkata, “Aku rela wahai Rabbi”…”
. (HR. Muslim (I/176 no 312) dari al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu)

Seorang muslim yang mendengar hadits di atas atau yang semisal, ia akan semakin merindukan untuk meraih kemenangan masuk ke surga Allah kelak. Bagaimana tidak? Sedangkan orang yang paling rendah derajatnya di surga saja sedemikian mewah kenikmatan yang akan didapatkan di surga, lantas bagaimana dengan derajat yang di atasnya? Bagaimana pula dengan orang yang menempati derajat tertinggi di surga? Pendek kata mereka akan mendapatkan kenikmatan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an,
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ”.
Artinya: “Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka; yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. 
( QS. As-Sajdah: 17)
Namun anehnya ternyata masih banyak di antara kaum muslimin yang tidak ingin masuk surga, sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam haditsnya,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى” قَالُوا: “يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى؟” قَالَ: “مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”.

“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?”. Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”.
(HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.)
Jadi tidak setiap yang mendambakan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya; barang siapa yang berhasil meraihnya di dunia; niscaya ia akan merasakan manisnya kenikmatan surga kelak di akhirat, sebaliknya barang siapa yang gagal merengkuhnya; maka ia akan tenggelam dalam kesengsaraan siksaan neraka.
Kunci tersebut ada empat, yang secara ringkas adalah:
1.Ilmu.
2.Amal.
3.Dakwah.
4.Sabar.
Empat kunci ini telah Allah subhanahu wa ta’ala isyaratkan dalam surat al-’Ashr:
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ”.
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang (1) beriman (2) beramal shalih, (3) saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan (4) saling nasehat menasehati dalam kesabaran”. 
(QS. Al-’Ashr: 1-3)
Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup.
Berikut penjabaran ringkas, masing-masing dari empat kunci tersebut di atas:
1. Kunci Pertama: Ilmu:
Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang insan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
.
“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Mâlik ط, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albâni dalam tahqiqnya atas Misykâh al-Mashâbîh.)
Di antara beragam disiplin mata ilmu agama, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama dan utama untuk dipelajari dan didalami terlebih dahulu oleh setiap muslim adalah: ilmu tauhid. Karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah seluruh rasul dan nabi. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ”.
Artinya: “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. 
 (QS. An-Nahl: 36)

2. Kunci Kedua: Amal:
‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mengamalkan ilmu yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Demikianlah urutan yang ideal antara dua hal ini; ilmu dan amal. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.
Seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya akan dicap menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka merupakan golongan yang dimurkai oleh Allah ta’ala, sebaliknya orang-orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu, mereka akan dicap menyerupai orang-orang Nasrani, dan merupakan golongan yang tersesat. Dua golongan ini Allah singgung dalam ayat terakhir surat al-Fatihah:
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”.
Artinya: “Tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus. Yaitu jalan golongan yang engkau karuniai kenikmatan atas mereka, bukan (jalannya) golongan yang dimurkai ataupun golongan yang tersesat“. 
(QS. Al-Fatihah: 6-7)

3. Kunci Ketiga: Dakwah:
Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk ‘melihat’ kanan dan kirinya, peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Kepedulian itu ia apresiasikan dengan bentuk ‘menularkan’ dan mendakwahkan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain.
Inilah fase ketiga yang seharusnya dititi oleh seorang muslim, setelah ia melewati dua fase di atas. Dia berusaha untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, terutama keluarganya terlebih dahulu, dalam rangka meneladani metode dakwah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang Allah ceritakan dalam firman-Nya,
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Dan berilah peringatan (terlebih dahulu) kepada keluarga terdekatmu”. 
(QS. Asy-Syu’arâ’: 214)
Tidak sepantasnya seorang da’i menyibukkan dirinya untuk mendakwahi orang lain di mana-mana lalu ‘menterlantarkan’ keluarganya sendiri; sebab sebelum ia ‘mengurusi’ orang lain, ia memiliki kewajiban untuk ‘mengurusi’ keluarganya terlebih dahulu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. (QS. At-Tahrîm: 6)
Dalam berdakwah terhadap keluarga maupun kepada orang lain, kita dituntut untuk senantiasa mengedepankan sikap hikmah, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala,
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ”.
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan jalan yang baik”. 
 (QS. An-Nahl: 125)
Inilah kunci ketiga yang akan mengantarkan seorang hamba ke surga. Namun seseorang tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah ta’ala.
Mereka yang berdakwah tanpa ilmu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sifati dalam sabdanya sebagai  orang yang sesat dan menyesatkan,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
.
“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama; hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari)
Sedangkan mereka yang berdakwah kemudian tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya, Allah ta’ala cela dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika laian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. (QS. Ash-Shaff: 2-3)

4. Kunci Keempat: Sabar:
Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat.
Proses pencarian ilmu membutuhkan semangat ‘empat lima’ dan kesungguhan, sebagaima disitir oleh Yahya bin Abi Katsir :, “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”.
Pengamalan ilmu juga membutuhkan kesabaran, karena hal itu merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu. Dalam hadits shahih disebutkan,
حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ”.
“(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu”. 
(HR. Muslim dari Anas bin Mâlik radhiyallahu’anhu)
Tidak ketinggalan, dakwah juga membutuhkan kesabaran, karena itu merupakan jalan yang dititi para rasul dan nabi.
Sa’ad radhiyallahu’anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya? Beliau shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Para nabi lalu mereka yang memiliki keutamaan yang tinggi, lalu yang di bawah mereka…”. HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hasan shahih”, demikian pula komentar Syaikh al-Albani.
Inilah empat kunci masuk surga, semoga Allah ta’ala melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, amin.
Wallahu ta’ala a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Sumber
- http://media-quran.blogspot.co.id/2013/04/empat-kunci-masuk-surga.html

Oleh Musdalifah
Artikel www.holyislamismylifes.blogspot.co.id

kisah neil armstrong masuk islam setelah mendengar adzan di bulan


Neil Armstrong adalah orang pertama yang mendarat di bulan. Neil pergi ke bulan menggunakan pesawat ruang angkasa USA bernama Apollo, bersama rekannya Buzz Aldrin. Pergi ke bulan merupakan hal yang amat menakjubkan bagi Neil. Saat-saat masa keberhasilannya itu, tak pernah ia lupakan.


Sampai akhrinya 30 Tahun berlalu,

Saat itu neil memutuskan untuk mengambil cuti kepada pihak NASA. Ia menghabiskan liburannya dengan berwisata ke Mesir. Ini kali pertama ia mengunjungi Kairo,atau pertama kalinya ia mengunjungi sebuah negeri Islam dalam rangka berwisata mencari hiburan dan mengembalikankesegaran setelah penat menghadapi rutinitas pekerjaan.

Beralih ke Mesir, akhirnya neil bersama wisatawan lain sampailah ke sebuah hotel yang terletak di tengah kota Kairo. Setelah beres mengurus registrasi, dengan tertatih dia pergi menuju kamarnya untuk beristirahat setelah letih menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Amerika menuju Kairo. Dan ketika dia berbaring di ranjang, tiba-tiba terdengarlah kumandang adzan...



Allahuakbar….. Allahuakbar…..


Ketika mendengar seruan itu, ia berpikir bahwa ini bukan pertama kali ia mendengar seruan seperti ini. Neil berpikir keras dimana dia pernah mendengarnya sebelumnya? Neil terus berusaha mengingat, tetapi dia tetap tidakmampu menemukan jawabannya.

Kemudian ia duduk, berdiri dan berjalan menuju kamar kecil, kemudian pergi mengambil makanan fast food sebelum turun untuk makan malam di lantai dasar.

Di ruang makan ketika dia sedang mengunyah sisa makanannya sambil ngobrol bersama dua orang temannya, kembali terdengar kumandang adzan dari salah satu menara mesjid yang banyak tersebar di Kairo, ia pun lantas terdiam, mencoba menyimak & menghayati lantunan kalimat-kalimat adzan yang didengarnya.

Kemudian dia berseru memanggil salah seorang pelayan yang ada disana & bertanya dengan bahasa inggris, “apakah kamu bisa berbahasa inggris?”

Si pelayan menjawab, “bisa sedikit tuan.”

Neil tersenyum & berkata, “seruan apa yg barusan tadi terdengar?”

Pelayan tadi menjawab, “maaf saya tidak mengerti maksud tuan.”

Neil berisyarat mengumandangkan adzan dengan terbata terbata, “Allahu akbar… Allahu akbar.”

Pelayan kemudian berkata, “itu panggilan untuk sholat, panggilan kepada seluruh kaum muslimin untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat yg dilakukan lima kali sehari.”

Neil pun mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Kemudian dia melanjutkan makan malamnya dengan duduk diam tanpa berkata apapun. Tiba-tiba ia bangkit dan meninggalkan teman-temannya lalu naik menuju kamarnya sambil berpikir, “pasti aku mendengarnya di salah satu film yg pernah aku tonton”. Sejenak dia berhenti berpikir, “ataupun mungkin di tempat lain?”.

“Ah tidak, bukan di film, aku mendengarnya dgn telingaku sendiri menggema di udara, tetapi dimana?” Sampai dia beranjak tidur pernyataan ini masih berputar di kepalanya. Ketika fajar menyingsing, Neil terbangun oleh suara adzan yang kembali berkumandang membelah angkasa

 Allahu akbar………Allahu Akbar……… 

Dia pun segera bangkit, duduk di tepi ranjang seraya mengerahkan segenap perhatiannya untuk mendengarkan suara itu, bersamaan dengan berakhirnya kumandang adzan, Neil teringat kembali bayangan tiga puluh tahun silam yang masa itu merupakan masa gemilang dalam hidupnya. Ketika itu dia mengendarai pesawat luar angkasa milik USA , Apollo, yg merupakan pesawat pertama dalam sejarah yg mampu mendarat di bulan. Tiba-tiba ia sadar bahwa “Ya, disanalah aku mendengar seruan ini untuk pertama kalinya dalam hidupku.” ungkapnya.

Kemudian dia berseru dalam bahasa inggris tanpa sadar, “Wahai Tuhan yang Maha Suci, Ya Tuhan, benar aku ingat bahwa disanalah, dipermukaan bulan itu aku dengar seruan itu untuk pertama kalinya dalam hidupku, dan disini, di Kairo, aku mendengarnya di bumi.”

Kemudian dia membaca sesuatu dan berusaha untuk kembali tidur, tetapi dia tidak bisa, diambilnya sebuah buku dari dalam tasnya dan mulai membacanya untuk merintang waktu hingga pagi menjelang, dia membaca tetapi pikirannya melayang entah kemana dan dia sama sekali tidak mengerti isi buku yang dibacannya.

Dalam hati dia berharap untuk mendengar lagi seruan itu. Hingga pagi dia membaca seperti itu dengan harapan akan kembali mendengar suara adzan, tetapi seruan yang ditunggu tidak kunjung terdengar.

Akirnya dia bangkit dan pergi ke kamar kecil dan mencuci mukanya, dengan cepat ia turun ke ruang makan untuk sarapan. Setelah itu dia pergi bersama sekelompok wisatawan untuk berkeliling, sementara itu seluruh panca ineranya dia pasang untuk menantikan saat dimana dia akan kembali mendengar lantunan seruan yang menggugahnya itu. Dia ingin meyakinkan dirinya sebelum memberitahukan wisatawan yang lain akan hal penting ini.

Kemudian rombongannya memasuki sebuah Museum Fir’aun dan di saat itu ia kembali mendengar kumandang adzan yang mengalun merdu dengan irama yang indah dari sebuah pengeras suara di museum. Neil meninggalkan rombongannya dan berdiri disamping pengeras suara itu sambil memperhatikan dengan seksama, di pertengahan adzan dia berseru memanggil temannya, “ hei, kesini, dengarkan seruan ini”.

Teman-temannya datang menghampiri dengan heran. Ketika salah seorang kelihatan akan berbicara, Neil memberi isyarat kepadanya agar diam dan mendengarkan seruan itu. Barulah setelah adzan selesai, Neil bertanya kepada mereka, “apakah kalian mendengarnya?”

“ya”, jawab mereka.

“tahukah kalian dimana aku pernah mendengarnya sebelum ini? Aku mendengarnya di permukaan bulan pada tahun 1969.”

Berserulah teman dekatnya, “Mr. Armstrong, mari kita kesana untuk bicara sebentar.” Kemudian mereka berdua pergi ke salah satu sudut & mulai bercakap-cakap tentang perasaannya yang aneh.

Tak lama kemudian Neil meninggalkan rombongannya dan mencegat taxi untuk pulang ke hotel, diwajahnya terlihat kemarahan dan emosi yg berkecamuk. “Bagaimana mungkin dia berkata bahwa aku mengada-ada dan aku telah gila?” pikirnya.

Neil berdiri di kamarnya selama dua jam sambil berbaring di atas ranjang sambil menunggu-nunggu suara adzan kembali, dan saat itu terdengarlah adzan Ashar.



Allahu Akbar… Allahu Akbar…


Neil bangkit dari posisinya, berdiri lalu membuka jendela dan untuk kesekian kalinya memperhatikan seruan itu, kemudian dia berseru, “tidak,aku belum gila, aku tidak gila, aku bersumpah demi Tuhan bahwa inilah yang aku dengar di permukaan bulan.”

Neil turun ke ruang makan agak terlambat agar tidak bertemu dengan temannya.

Sampailah ketika hari liburnya berakhir, Neil beserta wisatawan lain akan pulang ke Amerika….

Neil sengaja menghindari semua teman-teman seperjalannya, hingga mereka kembali ke Amerika.

Di Amerika Neil berusaha mendalami agama Islam, disaat itu ia mulai tertarik dengan Islam. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, ia mengumumkan keislamannya, dan mengungkapkannya dalam suatu wawancara bahwa ia menyatakan masuk islam karena dia telah mendengar kumandang adzan dengan telinganya sendiri di permukaan bulan.

Asyhadu an laa ilaaha illallaah…

Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah…

Tetapi tak lama kemudian datanglah sepucuk surat dari NASA, berisi keputusan tentang pemecatannya dari pekerjaannya. Pendeknya NASA berlepas diri dan tidak mau membantu astronot yang pertama mendarat di bulan itu, karena dia menyatakan diri masuk Islam, dan menyangkal tentang terdengarnya adzan di 
permukaan bulan.

Neil Armstrong berseru dalam sebuah majalah mempertanyakan pertanggung jawaban mereka perihal keputusan pemecatannya, “Memang aku kehilangan pekerjaanku, tetapi aku menemukan Allah”.

believe it or not. subhanallah.

Sumber
- https://id-id.facebook.com/notes/berita-mengenai-islam/subhanallah-kisah-neil-armstrong-masuk-islam-setelah-mendengar-adzan-di-bulan/156893087662422

Oleh Gusti Anna Maulida
Artikel www.holyislamismylifes.blogspot.co.id

Takwa



Dalam suatu ayat-Nya Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan jangan sekali-kali kamu mati kecuali mati dalam keadaan beragama Islam.”
Isi ayat ini merupakan perintah Allah SWT kepada hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa. Takwa juga merupakan perintah bagi orang-orang yang terdahulu,
“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah.”
Takwa merupakan kunci dan sebab yang mengantarkan kita kepada segala kebaikan dunia dan akherat serta lahir dan batin. Takwa merupakan dinding kokoh dan benteng teguh yang menyelamatkan kita dari segala keburukan.
Manfaat takwa :
  1. Keikutsertaan Allah dalam memelihara kita
“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
  1. Diberi ilmu ladunni (ilmu pemberian langsung dari Allah)
“Bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajarimu.”
  1. Diberi furqon (pembeda antara yang hak dan yang batil)
“Wahai orang-orang yang beriman, jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan kepadamu furqon, menghapuskan kesalahanmu dan mengampunimu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
  1. Selamat dari api neraka
“Dan tak seorang pun diantaramu kecuali mendatangi neraka. Hal itu bagi Tuhanmu adalah perkara yang sudah ditetapkan. Kemudian akan selamatkan orang-orang yang bertakwa.”
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka. Mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.”
Sebagaimana telah diketahui bahwa tak seorang pun yang dapat menahan pedihnya siksa Allah dan api neraka. Bahkan begitu dahsyatnya, sampai-sampai seluruh Nabi menangis ketakutan dan berdoa,
“Wahai Tuhanku! Diriku, diriku. Wahai Tuhanku, selamatkanlah aku, selamatkanlah aku.”
Kecuali junjungan kita Nabi Muhammad SAW berkata,
“Wahai Tuhanku! Umatku umatku.”
Jembatan (as-shirath) adalah jembatan yang amat tipis, bahkan lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Dibawahnya terdapat api neraka yang menganga. Panjangnya 500 tahun mendaki, 500 tahun mendatar dan 500 tahun menurun. Tidak ada yang menyelamatkan kita darinya kecuali dengan takwa.
  1. Dikeluarkan dari segala kesempitan, mendapat rejeki melimpah dari arah tak terduga-duga, dimudahkan segala perkaranya dan mendapat pahala yang besar.
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan memberi jalan keluar dan memberi rejeki dari arah yang tak terduga-duga.”
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan kemudahan bagi segala urusannya.”
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipat-gandakan pahala baginya.”
  1. Dijanjikan surga
“Itulah surga yang diwariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.”
“Perumpamaan surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa…”
“Dan (dihari itu) didekatkan surga kepada orang-orang yang bertakwa.”
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa di sisi Tuhan mereka adalah surga yang penuh kenikmatan.”
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa di dalam taman-taman, sungai-sungai dan di suatu tempat yang disukai disi Tuhan yang Maha Kuasa.”
  1. Mulia di dunia dan akherat
“Sesungguhnya orang yang mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
Allah mewujudkan kemuliaan seseorang pada ketakwaannya, bukan pada keturunan, harta dan selainnya. Bahkan dengan takwalah semua hal kebaikan dapat diraih.
Disebutkan di dalam suatu syair,
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka ia mendapat keuntungan yang berlimpah ruah.”
Di syair lain dikatakan,
“Barangsiapa yang mengetahui Allah tapi tidak mengisinya dengan ma’rifah, itulah orang yang celaka.
Tiada kemudhorotan dalam taat, segala bencana dalam ketaatan dapat dicegah. Tidaklah seorang hamba mulia dengan kekayaannya, karena kemuliaan hakiki untuk orang yang bertakwa.”

Sumber
-[Disarikan dari Nashoih Diniyyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad]

Oleh Asmah
Artikel www.holyislamismylifes.blogspot.co.id

cursor